Kamis, 06 Februari 2014

Menyimak Wawancara

Menyimak: Merangkum Isi Pembicaraan dalam Wawancara

Kompetensi Dasar: Merangkum isi pembicaraan dalam wawancara.
Setelah pembelajaran ini, Anda diharapkan mampu menetapkan topik, tujuan, dan orang diwawancarai; melakukan wawancara dengan seorang tokoh; menyusun rangkuman wawancara; dan mengungkapkannya secara lisan kepada orang lain.

1.      Menyimak Wawancara
Pada dasarnya, wawancara merupakan suatu percakapan antara dua orang. Seorang yang bertanya dan seorang yang menjawab. Wawancara merupakan tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapat mengenai suatu hal. Dalam wawancara narasumber menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan memberikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Ada beberapa jenis wawancara, antara lain: wawancara sosok pribadi, yaitu wawancara untuk mengetahui profil kehidupan seseorang terkait dengan profesinya; wawancara berita, yaitu wawancara untuk meminta tanggapan seseorang atas terjadinya suatu peristiwa; dan wawancara jalanan, yaitu wawancara dengan meminta pendapat orang yang sedang melalukan perjalanan.

2.      Merangkum Isi Pembicaraan dalam Wawancara
Untuk merangkum isi pembicaraan dalam wawancara, pendengar (apalagi) pewawancara harus memahami tahapan wawancara secara utuh. Tahapan yang perlu diparhatikan adalah persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Jika Anda mewawancarai narasumber tentang sesuatu atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat hendaklah menggunakan etika berwawancara yang baik.
a.   Persiapan   
Sebelum mengadakan wawancara, seorang pewawancara harus menyiapkan berbagai hal.
1)   Menentukan topik (bisa juga menanggapi sebuah topik) dan tujuan wawancara, misalnya: Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga miskin.
2)   Memilih narasumber yang akan diwawancarai.
– Mewawancarai penyalur BLT, yaitu lurah, ketua RW, dan ketua RT.
– Mewawancarai warga yang mendapat BLT.
3)   Membuat janji dengan narasumber, yakni hari, tanggal, jam, dan tempat.
4)   Menyiapkan daftar pertanyaan untuk wawancara.
Pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara harus disusun secara sistematis dan teratur. Ada beberapa jenis pertanyaan, yaitu:
-  pertanyaan yang bersifat menimba;
- pertanyaan yang bersifat menyelidiki;
- pertanyaan yang bersifat membimbing;
-  pertanyaan yang bersifat menyarankan;
-  pertanyaan yang bersifat mengungkapkan; dan
-  pertanyaan yang bersifat meneliti.
Keenam sifat pertanyaan tersebut hendaklah mencerminkan enam pertanyaan pokok sebuah berita, yaitu 5W + 1H (what/apa, who/siapa, when/kapan, where/di mana, why/mengapa, dan how/bagaimana).
b.   Pelaksanaan
Wawancara harus dilakukan dengan etika yang baik, paling tidak seperti penjelasan berikut.
1)   Melakukan janji terlebih dahulu dengan narasumber untuk menentukan waktu dan tempat.
2)   Datang tepat waktu saat wawancara dilakukan.
3)   Mengenakan pakaian yang sopan.
4)   Mengucapkan salam untuk mengawali wawancara.
5)   Menggunakan kata sapaan yang tepat.
6)   Mengajukan pertanyaan dengan jelas dan lantang, jangan berebutan dengan narasumber.
7)   Tidak menyela pembicaraan narasumber karena akan mengganggu kelancaran wawancara.
8)   Tidak menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan pribadi narasumber yang tidak berhubungan dengan topik wawancara.
9)   Mengucapkan terima kasih setelah selesai melakukan wawancara.

Selain menguasai teknik di atas, pewawancara, terlebih pendengar juga dituntut untuk dapat menyusun rangkuman wawancara. Pewawancara yang baik tentunya mampu menyusun rangkuman pembicaraan tersebut. Rangkuman adalah bentuk ringkas atau singkat dari sebuah karangan. Rangkuman hanya berisi pokok-pokok atau bagian-bagian penting dari naskah asli.
Ada dua hal penting yaitu pokok-pokok yang bersifat faktual dan yang bersifat empatik. Faktual berarti sesuatu yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, serta informasi yang disampaikan pembicara. Pada saat menyimak, Anda mencoba menangkap ide-ide pokok, gagasan-gagasan penting pembicara atau narasumber. Kegiatan yang dilakukan saat menyimak faktual adalah memusatkan perhatian pada pesan-pesan orang lain (narsumber) dan berusaha mendapatkan fakta-fakta. Empatik  adalah sebuah usaha untuk memahami sikap psikologis dan emosional pembicara/narasumber dan bagaimana sikap tersebut memengaruhi ujarannya. Kegiatan yang dilakukan saat menyimak empatik adalah memperhatikan isyarat-isyarat nonverbal (gerak-gerik anggota tubuh), berusaha menempatkan diri sebagai orang lain, dan memusatkan perhatian pada pesan, bukan pada penampilan.
c.   Pelaporan
Setelah melakukan atau mengikuti kegiatan wawancara, Anda tentunya dapat membuat laporan hasil wawancara tersebut. Sebagai gambaran, perhatikan hal-hal penting berikut ketika membuat laporan atau rangkuman hasil wawancara.
1)      Mencakup seluruh gagasan pokok/penting yang terdapat pada naskah asli.
2)      Tidak menuliskan kembali ilustrasi, contoh, atau rincian penjelas.
3)      Menggunakan sudut pandang dan gaya (bahasa) pembuat rangkuman.
4)      Tidak mengubah sistematika isi naskah asli.
5)      Tidak melebihi sepertiga dari panjang naskah yang dirangkum.


Pelatihan 3
1.   Dengarkanlah sebuah wawancara di televisi yang membahasa masalah tertentu!
2.   Setelah mendengarkan wawancara tersebut, catatlah pokok-pokok pembicaraannya. Tuliskan pula siapa yang menjadi pewawancara dan narasumbernya.
3.   Berdasarkan pokok-pokok wawancara tersebut, buatlah rangkumannya. Jangan lupa dengan memperhatikan hal-hal penting yang dikemukakan dalam wawancara.

4.   Kemukakanlah kembali isi wawancara tersebut secara lisan di hadapan teman-teman Anda di kelas!

Teknik Penyusunan Daftar Pustaka

TEKNIK PENYUSUNAN DAFTAR PUSTAKA
(Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa)
URUTAN
1.    Nama pengarang, dengan ketentuan: Kata terakhir ditulis paling awal, diikuti kata pertama dst.
Contoh: Juwita menjadi (à) Juwita; Jalu Pamungkas menjadi (à) Pamungkas, Jalu; Agung Gde Manuka menjadi (à) Manuka, Agung Gde; 12345 menjadi (à) 5, 1234
2.    Tahun terbit
Contoh: 2011
3.    Judul buku, dengan ketentuan: digarisbawahi tiap-tiap kata (untuk tulisan tangan atau ketik konvensional)atau dicetak tebal atau dicetak miring
Contoh: Belum Ada Judul atau Belum Ada Judul atau Belum Ada Judul
4.    Kota penerbitan
Contoh: Surakarta
5.    Nama penerbit
Contoh: Tiga Serangkai

Dari data buku di atas urutan penulisan daftar pustaka yang benar adalah:
Manuka, Agung Gde. 2011. Belum Ada Judul. Surakarta: Tiga Serangkai.

KETENTUAN
1.    Disusun menurut abjad nama pengarang yang telah diubah susunannya, tanpa gelar, tanpa nomor urut, atau tanpa tanda lainnya.
2.    Format atau bentuk susunan daftar pustaka untuk satu judul merupakan kebalikan model paragraf konvensional, yaitu baris pertama dimulai dari batas kiri, sedangkan baris kedua dst. menjorok ke dalam sekitar 2 cm.
3.    Jika pengarang sebuah buku lebih dari satu orang, hanya nama pengarang pertama (yang paling awal) yang diubah susunan namanya.
4.    Jika seorang pengarang memiliki beberapa buku yang dipakai dalam daftar pustaka, penyusunannya diurutkan dari buku yang terbit paling awal. Nama pengarang hanya ditulis sekali pada buku yang terbit paling awal, sedangkan pada buku kedua dst, nama pengarang diganti dengan garis putus-putus.
5.    Jika tidak ada nama pengarang, pada bagian nama diisi Anonim atau nama lembaga yang menerbitkannya atau nama alamat situs internet.

Contoh penerapan penulisan daftar pustaka

Dari data berikut susunlah menjadi daftar pustaka yang benar!
No.
Judul
Pengarang
Kota
Penerbit
Tahun
1.
Setangkai Edelweiss
Marga T.
Jakarta
Gramedia
1993
2.
Anak Bajang Menggiring Angin
Sindhunata
Jakarta
Gramedia
1983
3.
Laskar Pelangi
Andrea Hirata
Yogyakarta
Bentang
2008
4.
Menguak Fajar Dini Hari
Pearl S. Buck
Jakarta
Gramedia
1992
5
Gema Sebuah Hati
Marga T.
Jakarta
Gramedia
1992

DAFTAR PUSTAKA
Buck, Pearl S. 1992. Menguak Fajar Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
Sindhunata. 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Gramedia.
T., Marga. 1992. Gema Sebuah Hati. Jakarta: Gramedia.

________. 1993. Setangkai Edelweiss. Jakarta: Gramedia.

Jumat, 10 Desember 2010

Prinsip Paragraf

      Prinsip Paragraf
Sebuah ide atau gagasan akan mudah dipahami oleh orang lain ketika diungkapkan dengan cara yang tepat. Baik pemilik ide maupun penerima gagasan mempunyai kecenderungan pola pikir tertentu. Ada ide yang lebih mudah dipahami ketika dituangkan dari hal yang bersifat umum menuju hal yang khusus (secara deduktif). Sebaliknya, ada pula gagasan yang lebih mudah ditangkap maknanya ketika diungkapkan dari tahapan khusus ke arah hal umum (secara induktif).
Setiap karangan prosa selalu tersaji dalam bentuk paragraf-paragraf. Di dalam paragraf itulah pokok-pokok pikiran ditemukan. Pokok pikiran itu ada yang berbentuk kalimat secara utuh yang dinamakan kalimat utama paragraf, tetapi ada pula yang berbentuk bagian kalimat atau gabungan kalimat yang disebut ide atau gagasan utama paragraf. Perlu pula dipahami bahwa paragraf yang baik hanya mengandung satu kalimat utama atau satu ide pokok yang diperjelas dengan beberapa kalimat penjelas atau kalimat pengembang pikiran utama.
      (Tips) Untuk menemukan kalimat utama dalam sebuah paragraf dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.      membaca semua kalimat di dalam paragraf tersebut secara cermat.
2.      membandingkan antara kalimat pertama dan kalimat terakhir, kalimat yang lebih penting dan lebih luas cakupan maknanya itulah yang disebut kalimat utama.
3.      jika kalimat pertama dan kalimat terakhir sama pentingnya, itu berarti keduanya adalah kalimat utama.
4.      jika kalimat pertama dan kalimat terakhir sama-sama tidak penting atau hanya sebagai pendukung gagasan utama, itu berarti gagasan utama paragraf itu tersebar dari awal hingga akhir paragraf.
       Berdasarkan letak kalimat utamanya, jenis-jenis paragraf dapat dibedakan menjadi :
1.      Paragraf deduktif yaitu paragraf yang kalimat utamanya terletak di awal paragraf (pola umum-khusus).
Kemampuan lembaga pendidikan dalam mencetak tenaga siap pakai belum optimal. Hal itu dapat dilihat dari masih banyaknya tenaga kerja baru yang belum bisa bekerja sesuai harapan pihak perusahaan. Masih banyaknya program kepelatihan dan training bagi pegawai baru. Banyaknya syarat tambahan yang harus dikuasai pegawai baru yang harus dicari dari tempat-tempat kursus karena hal itu tidak diperoleh dari lembaga pendidikan tempat pegawai tersebut belajar.

2.      Paragraf induktif yaitu paragraf yang kalimat utamanya terletak di akhir paragraf (pola khusus-umum).
Dari beberapa sekolah yang kami amati ternyata diperoleh data sebagai berikut: kebanyakan siswa di SMA Favorit lebih senang masuk sekolah daripada libur sehari di tengah-tengah pekan. Sebagian besar murid di SMA Bonafide lebih memilih pulang awal daripada libur sehari di tengah-tengah pekan. Demikian pula keadaan seperti itu juga terjadi di SMA Unggulan. Dari gambaran itu dapat disimpulkan bahwa para siswa lebih memilih pulang pagi daripada libur sehari di tengah-tengah pekan.
3.      Paragraf campuran atau paragraf deduktif-induktif yaitu paragraf yang kalimat utamanya terletak di awal paragraf kemudian diulang lagi pada akhir paragraf (pola umum-khusus-umum)
Banyak alasan yang diberikan oleh orang yang memilih kegiatan memancing. Ada yang mengatakan bahwa memancing itu suatu seni. Ada pula yang mengatakan bahwa kegiatan itu untuk melatih kesabaran.  Tentu saja itu bagi yang setuju dan senang pula memancing. Bagi yang tidak senang, memancing itu hanya membuang-buang waktu. Itu pekerjaan orang-orang malas, frustrasi, dan ingin menghindar dari tanggung jawab. Memang begitulah, banyak alasan yang dapat diberikan sehubungan dengan kegiatan memancing.
4.      Paragraf deskriptif / naratif yaitu paragraf yang kalimat utamanya tersebar dari awal hingga akhir paragraf, paragraf yang berisi penjelasan.
Weni duduk di serambi muka. Wajahnya sayu. Di matanya tergenang air mata kesedihan. Di sampingnya tergeletak sebuah boneka barbie yang sudah tidak utuh. Beberapa kain tersebar di sekitarnya dan isinya berhamburan ke mana-mana. Entah siapa yang tega merusak mainan kesayangannya.

Kamis, 09 Desember 2010

Biografi

Biografi W.R. Supratman
Nama Wage Rudolf Supratman sudah tak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Ia adalah komposer dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia, yakni Indonesia Raya. Karena jasanya, hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Musik Indonesia. Pencanangan hari musik itu, 10 Maret 2003, dilakukan di Istana Negara Jakarta oleh Presiden. Hari itu sekaligus merupakan hari peringatan seabad lahirnya komposer dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia.
W.R. Supratman lahir pada 10 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Ia lahir bertepatan dengan pasaran (Jawa) Wage dan diberi nama Supratman. Ia adalah anak ketujuh. Ayahnya bernama Jumeno Senen Sastrosuharjo. Ia diangkat anak oleh kakak iparnya, Sersan Van Eldik, dan diberi nama tambahan Rudolf. Dua bulan setelah lahir ia dibawa ke Tangsi Meester Cornells, Jatinegara, Jakarta. Untuk mematuhi peraturan administrasi dan memperoleh tunjangan sebagai warga knil, dibuatlah keterangan lahir dengan nama Wage Rudolf Supratman. Ia bersekolah di ELS, Ujungpandang, kemudian melanjutkan ke Normaal School di kota yang sama, hingga lulus. Pada tahun 1924 ia pergi ke Bandung. Di sana ia menjadi wartawan koran Kaum Muda. Ia ikut memperjuangkan cita-cita kebangsaan dalam bidang komunikasi massa.
W.R. Supratman termasuk seniman yang ahli bermain biola. Dengan biolanya itulah ia menciptakan lagu Indonesia Raya. Lagu itu diperkenalkan secara luas untuk pertama kali di depan Kongres Pemuda yang berlangsung di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Dengan biola di tangan, Supratman memperdengarkan hasil karyanya itu dengan penuh penjiwaan. Hadirin terperangah dan terpesona mendengar kata-kata dan iramanya yang merupakan ungkapan hati nurani pemuda dan rakyat Indonesia. Selanjutnya, lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1938 atau 7 tahun sebelum Indonesia merdeka, ia meninggal dunia setelah lama berjuang dan menciptakan berbagai lagu. W.R. Supratman menghembuskan napasnya yang terakhir di Surabaya dalam usia yang relatif muda, 35 tahun.

Puisi

Penggolongan puisi untuk peserta didik sering menjadi persoalan tersendiri. Kebanyakan dari mereka kurang memahami dasar pengelompokannya. Berikut ini salah satu masukan yang bisa dipertimbangkan bagi mereka. Penggolongan puisi menurut zamannya:
1. Puisi lama yang memiliki ciri-ciri terikat jumlah baris per baitnya atau jumlah silaba per larik dan terikat pula persajakannya. Contoh bentuk ini antara lain pantun, syair, gurindam, seloka, dan karmina.
2. Puisi baru yang memiliki ciri-ciri terikat jumlah baris per baitnya, tetapi tidak terikat persajakannya. Contoh puisi ini antara lain distikon, tersina, kuatrin kuin, sekstet, septima, stanza (oktava), dan soneta.
3. Puisi modern yang memiliki ciri-ciri bebas dalam bentuk dan persajakan karena yang diutamakan adalah makna yang terkandung di dalamnya. Contoh bentuk ini adalah puisi-puisi tahun 40-an hingga sekarang.
4. Puisi kontemporer yang meliputi puisi mantra, puisi mbeling, dan puisi konkret. Puisi mantra adalah puisi yang mengabaikan bentuk, bahkan kata-kata karena yang diutamakan adalah akibat di balik kata-kata yang dipakai, seperti kata-kata yang dipakai oleh para pesulap. Puisi mbeling adalah puisi yang berupa permainan kata-kata, bahkan ada yang berupa kredo (pengadilan atau sindiran terhadap puisi itu sendiri). Contoh puisi yang berjudul "Akhir sebuah Doa" Amin.Puisi konkret adalah puisi yang mengutamakan grafis atau bentuk fisik puisi yang menyerupai gambar atau bentuk tertentu.